Istilah making power telah menjadikan masyarakat
sindrom terhadap kekuasaan. Apabila menyimak realitas kehidupan masyarakat
Banten, baik dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi, making power
sesungguhnya telah membuat masyarakat muak.
Kehadiran
sekelompok masyarakat yang dinilai "sangat berkuasa" dalam setiap
denyut nadi kehidupan masyarakat sungguh ironi dengan kehidupan demokratisasi
dan reformasi. Wacana "ada gubernur di atas gubernur" telah menjadi
rahasia umum masyarakat Banten. "Gubernur (resmi) boleh memerintah, tetapi
dia bisa diperintah oleh gubernur (swasta) yang lain," kata Enton, warga
Serang.
Karena
"racun" making power inilah, kinerja tim rekonstruksi Kesultanan
Banten selama tiga tahun dan telah melakukan studi banding ke sejumlah
kesultanan di Tanah Air-antara lain ke Kutai Kartanegara dan Cirebon-bak
bertepuk sebelah tangan. Sejumlah agenda kegiatan menuju pelantikan sultan
sekaligus pengukuhan wilayah kesultanan Agustus tampak "terbengkalai"
kalau tidak bisa dikatakan jalan di tempat.
Upaya
mengumpulkan tokoh-tokoh Banten yang bergelar tubagus untuk membicarakan
pendirian kesultanan mendapat hambatan. "Saya pernah bermohon kepada
Bupati Serang agar tokoh-tokoh Banten dikumpulkan untuk membicarakan kesultanan
ini. Tetapi, jawaban bupati justru kurang mengenakkan. Kalau orang Banten
kumpul bisa rusuh dong," kata Tubagus Fathul Adzim Chotib, duriat saudara
sepupu Ismettulah.
Mengenai
hal itu, Kepala Humas Pemerintah Provinsi Banten Kurdi Mutim mengatakan,
sesungguhnya pemerintah daerah sangat mendukung kebangkitan Kesultanan Banten.
"Sama sekali tidak ada kecemburuan. Itu hanya isu," katanya.
Bentuk
dukungan itu misalnya dengan memfasilitasi tim rekonstruksi melakukan studi
banding ke Kalimantan. Pemerintah juga telah
membangun kawasan Banten Lama dengan memugar Keraton Surosowan melalui APBD
tahun 2002 dengan dana Rp 5 miliar.
Bagi
Fathul, sesungguhnya masyarakat Banten sangat peduli dengan kesultanan
tersebut. Tetapi, dukungan dari pemerintah daerah sendiri kurang maksimal.
"Kita tak usah bicara figur sultan karena ini mungkin ambisi pribadi
seseorang, tetapi sosok Kesultanan Banten penting dihadirkan sebagai rangkaian
sejarah Nusantara," katanya.
Dikatakan, pemikiran sempit dari kehadiran
Kesultanan Banten hendaknya dihindarkan. "Banten telah berjaya pada masa
lalu, kenapa kita tak mengikuti jejaknya," tambah Fathul yang prihatin
dengan kondisi ekonomi masyarakat Banten sekarang ini.
Sependapat dengan Fathul, pemerhati sejarah Banten,
Muhammad Iwan Nitnet, mengatakan, kebangkitan Kesultanan Banten harus bersifat
global (pariwisata) dan bersifat sosial menyejahterakan rakyat, bukan politik,
apalagi membawa-bawa bendera feodalisme. Stigma feodalisme sulit dihapus dengan
kehadiran kesultanan. Agar tidak dicurigai, Kesultanan Banten nantinya perlu
mendapat kewenangan mengelola kawasan Banten Lama sebagai wilayah otoritas.
Ini bukan bermaksud membagi kekuasaan, tetapi
bertujuan untuk pariwisata. Dengan otoritas wilayah itu, maka Banten Lama bisa
ditata kembali menjadi daerah wisata permanen, yang memberi kontribusi untuk
masyarakat dan pemerintah Banten sendiri. Dalam catatan Iwan, setiap tahun
wisatawan yang berziarah ke Banten Lama mencapai tujuh juta orang.
"Persoalannya, apakah masalah wilayah akan
mendapat legitimasi dari pemerintah," ungkap Muhammad Iwan Nitnet, anggota
tim rekonstruksi Kesultanan Banten. Wilayah Banten Lama dibutuhkan untuk
pembangunan cagar budaya Banten yang kini terbengkalai.
Lalu, mungkinkah ada kesultanan tanpa seorang
sultan? "Wallahualam," kata Tubagus Fathul Adzim Chotib, mengucap
ungkapan dari bahasa Arab yang artinya hanya Tuhan yang tahu. (Jean Rizal Layuck)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar sobat