Kamis, 12 Mei 2016

sejarah kesultanan Banten sesi ketiga

Filled under:



Istilah making power telah menjadikan masyarakat sindrom terhadap kekuasaan. Apabila menyimak realitas kehidupan masyarakat Banten, baik dari aspek sosial, politik, maupun ekonomi, making power sesungguhnya telah membuat masyarakat muak.
Kehadiran sekelompok masyarakat yang dinilai "sangat berkuasa" dalam setiap denyut nadi kehidupan masyarakat sungguh ironi dengan kehidupan demokratisasi dan reformasi. Wacana "ada gubernur di atas gubernur" telah menjadi rahasia umum masyarakat Banten. "Gubernur (resmi) boleh memerintah, tetapi dia bisa diperintah oleh gubernur (swasta) yang lain," kata Enton, warga Serang.
Karena "racun" making power inilah, kinerja tim rekonstruksi Kesultanan Banten selama tiga tahun dan telah melakukan studi banding ke sejumlah kesultanan di Tanah Air-antara lain ke Kutai Kartanegara dan Cirebon-bak bertepuk sebelah tangan. Sejumlah agenda kegiatan menuju pelantikan sultan sekaligus pengukuhan wilayah kesultanan Agustus tampak "terbengkalai" kalau tidak bisa dikatakan jalan di tempat.
Upaya mengumpulkan tokoh-tokoh Banten yang bergelar tubagus untuk membicarakan pendirian kesultanan mendapat hambatan. "Saya pernah bermohon kepada Bupati Serang agar tokoh-tokoh Banten dikumpulkan untuk membicarakan kesultanan ini. Tetapi, jawaban bupati justru kurang mengenakkan. Kalau orang Banten kumpul bisa rusuh dong," kata Tubagus Fathul Adzim Chotib, duriat saudara sepupu Ismettulah.
Mengenai hal itu, Kepala Humas Pemerintah Provinsi Banten Kurdi Mutim mengatakan, sesungguhnya pemerintah daerah sangat mendukung kebangkitan Kesultanan Banten. "Sama sekali tidak ada kecemburuan. Itu hanya isu," katanya.
Bentuk dukungan itu misalnya dengan memfasilitasi tim rekonstruksi melakukan studi banding ke Kalimantan. Pemerintah juga telah membangun kawasan Banten Lama dengan memugar Keraton Surosowan melalui APBD tahun 2002 dengan dana Rp 5 miliar.
Bagi Fathul, sesungguhnya masyarakat Banten sangat peduli dengan kesultanan tersebut. Tetapi, dukungan dari pemerintah daerah sendiri kurang maksimal. "Kita tak usah bicara figur sultan karena ini mungkin ambisi pribadi seseorang, tetapi sosok Kesultanan Banten penting dihadirkan sebagai rangkaian sejarah Nusantara," katanya.
Dikatakan, pemikiran sempit dari kehadiran Kesultanan Banten hendaknya dihindarkan. "Banten telah berjaya pada masa lalu, kenapa kita tak mengikuti jejaknya," tambah Fathul yang prihatin dengan kondisi ekonomi masyarakat Banten sekarang ini.
Sependapat dengan Fathul, pemerhati sejarah Banten, Muhammad Iwan Nitnet, mengatakan, kebangkitan Kesultanan Banten harus bersifat global (pariwisata) dan bersifat sosial menyejahterakan rakyat, bukan politik, apalagi membawa-bawa bendera feodalisme. Stigma feodalisme sulit dihapus dengan kehadiran kesultanan. Agar tidak dicurigai, Kesultanan Banten nantinya perlu mendapat kewenangan mengelola kawasan Banten Lama sebagai wilayah otoritas.
Ini bukan bermaksud membagi kekuasaan, tetapi bertujuan untuk pariwisata. Dengan otoritas wilayah itu, maka Banten Lama bisa ditata kembali menjadi daerah wisata permanen, yang memberi kontribusi untuk masyarakat dan pemerintah Banten sendiri. Dalam catatan Iwan, setiap tahun wisatawan yang berziarah ke Banten Lama mencapai tujuh juta orang.
"Persoalannya, apakah masalah wilayah akan mendapat legitimasi dari pemerintah," ungkap Muhammad Iwan Nitnet, anggota tim rekonstruksi Kesultanan Banten. Wilayah Banten Lama dibutuhkan untuk pembangunan cagar budaya Banten yang kini terbengkalai.
Lalu, mungkinkah ada kesultanan tanpa seorang sultan? "Wallahualam," kata Tubagus Fathul Adzim Chotib, mengucap ungkapan dari bahasa Arab yang artinya hanya Tuhan yang tahu. (Jean Rizal Layuck)


0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar sobat