Kamis, 12 Mei 2016

sejarah kesultanan Banten

Filled under:



APABILA tidak ada aral melintang, Sultan Banten akan dikukuhkan tanggal 23 Agustus tahun ini. Wacana kesultanan menjadi buah bibir hampir seluruh lapisan "kawula" Banten. Tetapi, kehadiran kesultanan memunculkan sikap pro dan kontra dari para duriat (keluarga keturunan sultan) dan masyarakat Banten sendiri.
M>small 2small 0< kembali benang yang terputus ternyata bukanlah hal mudah. Kusutnya sejarah masa lampau yang tercerai-berai akibat penjajahan telah membuat wilayah Kesultanan Banten tanpa arah. Warisan leluhur nyaris luluh lantak, terobrak-abrik oleh misi "penghancuran" kolonialisme di bawah pemerintahan Herman William Daendels.
Bangunan Keraton Surosowan yang terletak di Banten Lama, tempat para sultan mengendalikan pemerintahan Banten, hampir rata dengan tanah. Kondisi fisik sisa sejarah itu bagai puing berserakan, tidak terurus. Kompleks Surosowan yang luasnya sekitar tiga hektar tampak kumuh. Di sejumlah sisi jalan dipenuhi lapak-lapak pedagang asongan. Bahkan, tanah di sekitar keraton telah diklaim sebagai tanah milik rakyat.
Siapa penerus Sinuhunan Kesultanan Banten Ke-18 Sultan Bupati Muhammad Syaffiudin yang memerintah terakhir tahun 1832, juga masih tidak jelas. Padahal, salah satu syarat membangun kesultanan harus mengetahui penerus raja terakhir.
"Syarat obyektif, kita harus mencari penerus raja terakhir, bukannya mereka-reka kemudian mengklaim diri sebagai keturunan sultan," kata Tubagus Fathul Adzim Chotib, salah seorang putra Residen Banten.
Dalam pelarian Syaffiudin ke Surabaya, Jawa Timur, ia membawa dua putranya yang masih balita, Pangeran Surya Kumala dan Pangeran Surya Atmaja. Namun, selanjutnya kehidupan Syaffiudin tidak terendus. Mengendus sejarah kerajaan yang sudah lama terputus, kata Fathul, tidak semudah membalik telapak tangan. Siapa anak dari Pangeran Surya Kumala sampai sekarang tidak diketahui.
Oleh karena itu, lanjut Fathul, wacana yang mesti dikedepankan sekarang adalah pembangunan wilayah kesultanan beserta otoritas budayanya, bukan sekadar mencari sosok Sultan. "Pembangunan kesultanan keraton bayangan perlu menjadi prioritas. Berilah tanah untuk kami bangun miniatur Keraton Surosowan," katanya.
MELONGOK kembali sejarah Kesultanan Banten memang penuh tanda tanya. Satu- satunya catatan yang masih diingat para duriat yang tersebar dari Banten Selatan (Lebak) sampai ke Banten Utara (Serang), bahwa Kesultanan Banten tidak pernah dicabut oleh para kawula Banten sendiri.
Dokumen itu memang tidak tertulis, tetapi sejarah menyatakan sewaktu Belanda menghancurkan Keraton Surosowan beserta dinasti kesultanan, kawula ketika itu masih mengakui kebesaran Kesultanan Banten. Proses penghancuran itu memaksa sultan terakhir, Syaffiudin, lari ke Surabaya.
Belanda kemudian membagi Kesultanan Banten menjadi empat wilayah kekuasaan, meliputi Banten Lor (Serang), Banten Tengah (Pandeglang), Banten Kidul (Rangkasbitung), dan Banten Kulon (Caringin). Tujuannya memang memecah-mecah kekuasaan Kesultanan Banten yang tertanam sejak abad XVI.
Di kalangan masyarakat, kebangkitan Kesultanan Banten itu bagaikan napak tilas sejarah sekaligus sebagai apresiasi kejayaan Banten masa lalu yang pernah menjadi gerbang Islam Nusantara ketika dipimpin Sultan Maulana Hasanudin, Sinuhunan Banten II.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar sobat