APABILA
tidak ada aral melintang, Sultan Banten akan dikukuhkan tanggal 23 Agustus
tahun ini. Wacana kesultanan menjadi buah bibir hampir seluruh lapisan
"kawula" Banten. Tetapi, kehadiran kesultanan
memunculkan sikap pro dan kontra dari para duriat (keluarga keturunan sultan)
dan masyarakat Banten sendiri.
M>small
2small 0< kembali benang yang terputus ternyata bukanlah hal mudah. Kusutnya
sejarah masa lampau yang tercerai-berai akibat penjajahan telah membuat wilayah
Kesultanan Banten tanpa arah. Warisan leluhur nyaris luluh lantak,
terobrak-abrik oleh misi "penghancuran" kolonialisme di bawah
pemerintahan Herman William Daendels.
Bangunan
Keraton Surosowan yang terletak di Banten Lama, tempat para sultan
mengendalikan pemerintahan Banten, hampir rata dengan tanah. Kondisi fisik sisa
sejarah itu bagai puing berserakan, tidak terurus. Kompleks Surosowan yang
luasnya sekitar tiga hektar tampak kumuh. Di sejumlah sisi jalan dipenuhi
lapak-lapak pedagang asongan. Bahkan, tanah di sekitar keraton telah diklaim
sebagai tanah milik rakyat.
Siapa
penerus Sinuhunan Kesultanan Banten Ke-18 Sultan Bupati Muhammad Syaffiudin
yang memerintah terakhir tahun 1832, juga masih tidak jelas. Padahal, salah
satu syarat membangun kesultanan harus mengetahui penerus raja terakhir.
"Syarat
obyektif, kita harus mencari penerus raja terakhir, bukannya mereka-reka
kemudian mengklaim diri sebagai keturunan sultan," kata Tubagus Fathul
Adzim Chotib, salah seorang putra Residen Banten.
Dalam
pelarian Syaffiudin ke Surabaya, Jawa Timur, ia
membawa dua putranya yang masih balita, Pangeran Surya Kumala dan Pangeran
Surya Atmaja. Namun, selanjutnya kehidupan Syaffiudin tidak terendus. Mengendus
sejarah kerajaan yang sudah lama terputus, kata Fathul, tidak semudah membalik
telapak tangan. Siapa anak dari Pangeran Surya Kumala sampai sekarang
tidak diketahui.
Oleh karena itu, lanjut Fathul, wacana yang mesti
dikedepankan sekarang adalah pembangunan wilayah kesultanan beserta otoritas
budayanya, bukan sekadar mencari sosok Sultan. "Pembangunan kesultanan
keraton bayangan perlu menjadi prioritas. Berilah tanah untuk kami bangun
miniatur Keraton Surosowan," katanya.
MELONGOK kembali sejarah Kesultanan Banten memang
penuh tanda tanya. Satu- satunya catatan yang masih diingat para duriat yang
tersebar dari Banten Selatan (Lebak) sampai ke Banten Utara (Serang), bahwa
Kesultanan Banten tidak pernah dicabut oleh para kawula Banten sendiri.
Dokumen itu memang tidak tertulis, tetapi sejarah
menyatakan sewaktu Belanda menghancurkan Keraton Surosowan beserta dinasti
kesultanan, kawula ketika itu masih mengakui kebesaran Kesultanan Banten. Proses penghancuran itu memaksa
sultan terakhir, Syaffiudin, lari ke Surabaya.
Belanda
kemudian membagi Kesultanan Banten menjadi empat wilayah kekuasaan, meliputi
Banten Lor (Serang), Banten Tengah (Pandeglang), Banten Kidul (Rangkasbitung),
dan Banten Kulon (Caringin). Tujuannya memang memecah-mecah kekuasaan
Kesultanan Banten yang tertanam sejak abad XVI.
Di
kalangan masyarakat, kebangkitan Kesultanan Banten itu bagaikan napak tilas
sejarah sekaligus sebagai apresiasi kejayaan Banten masa lalu yang pernah
menjadi gerbang Islam Nusantara ketika dipimpin Sultan Maulana Hasanudin,
Sinuhunan Banten II.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar sobat